Tampaknya bulan Muharram atau orang Jawa akrab
menyebutnya bulan Suro menjadi berkah tersendiri, setidaknya hal itu
yang dirasakan oleh Harti (66) warga Demak yang jauh-jauh berdagang jenang di
pinggir makam KH. Ahmad Mutamakkin Desa Kajen Kecamatan Margoyoso Kabupaten
Pati. Seseorang yang dikenal masyarakat sebagai wali Khoriqul Adah ini
ramai dikunjungi masyarakat luas, terutama saat bulan Muharram.
Ditemui reporter Paradigma di lapaknya
Senin (3/10/2016) kemarin, ibu dua anak ini tampak meladeni pembeli dengan
telaten. Satu persatu Ia jelaskan varian dagangannya, mulai dari jenang
warna-warni hingga produk pabrik kenamaan dari Kudus.
Tetapi jenang yang dijual Harti di setiap haul
para wali ini bentuknya lain. Jenang yang terbuat dari tepung ketan dan ada
pula yang dibuat dari campuran tepung beras dan ketela ini di sajikan berbentuk
potongan-potongan dadu besar, dan rasanya tak kalah nikmat dengan jenang
berbungkus plastik kecil-kecil.
Jenang bentuk ini hanya dapat anda temui di
bulan Muharram saja. Ada beberapa varian rasa diantaranya susu karamel, nangka,
original, dan ada pula yang dibuat dengan irisan kelapa muda.
Untung Lumayan
Harga yang paling murah dipatok Rp. 16.000,-/kilogram
untuk rasa nangka dan susu karamel, sementara varian rasa original dan campuran
irisan kelapa muda dipatok Rp. 24.000,-/kilogram. Harga yang pantas dibayarkan
untuk menikmati legitnya jenang ini. Dan varian dengan campuran potongan kelapa
muda inilah yang laris manis.
Harti pun mengungkapkan, biasanya ramai
tidaknya dagangan jenangnya tergantung jumlah kunjungan peziarah.
“Rata-rata kalau sepi biasanya habis kurang
lebih hanya 20 kilogram, namun bila sedang ramai bisa habis 4 kwintal jenang
perhari, biasanya kalau ramai itu mendekati acara puncak buka luwur yaitu
tanggal 5-1o suro,” ungkapnya.
Proses pembuatannya tak jauh berbeda, adonan
tepung ketan, beras maupun tepung ketela dicampur dengan gula merah. Setelah itu
serbuk perasa seperti nangka, susu karamel dan lainnya pun ditambahkan, serta
tak lupa pemanis buatan secukupya. Karena tidak memakai bahan pengawet, biasanya
jenang seperti ini hanya tahan sampai satu minggu.
Harti tidak sendiri, Ia mulai mremo jenang
sudah sejak 1991 bersama tetangganya dari Sayung-Demak, tahun pertama jualan
itu tepat Ia mempunyai anak pertama, kenangnya.
Para pembelinya pun beragam, banyak dari rombongan
ziarah seperti Pekalongan, Kendal dan Semarang yang kerap memborong jenangnya,
bahkan sebagian peziarah masih ingat kalau tiap suronan selalu mampir di
kiosnya .
“Malam minggu kemarin mas ramai, dagangan saya
diborong rombongan ziarah dari luar kota,” tegas wanita bertubuh gempal ini.
Untuk berjualan di area makam mbah Mutamakkin
ini, setiap pedagang dikenakan iuran sebesar Rp. 500.000,- oleh pemerintah desa
Kajen selama acara haul berlangsung. Mengingat jarak Kajen-Demak yang lumayan
jauh, untuk menghemat biaya Harti bersama rekannya tidur di kolong meja
dagangannya.
Ia tidak hanya berjualan di Kajen saja,
melainkan berkeliling ditiap-tiap acara haul para wali.
Semisal Grebek Besar di
Demak, Sunan Bonang di Tuban, Pasujudan Sunan Bonang di Rembang dan masih
banyak lainnya.
“Memang ini kerjaannya mas, ya tiap haul mesti
mengais rezeki di makam para wali,” tegasnya.
Favorit peziarah
Jenang tampaknya telah menjadi bagian dari
oleh-oleh wisata religi, tidak hanya di makam mbah Mutamakkin Kajen saja.
Setiap kita berkunjung ke makam para wali lainnya semisal sunan Kudus, Kalijaga,
Bonang dan masih banyak lainnya pasti kita akan menjumpai kios-kios yang
menjajakan oleh-oleh Jenang.
Hal ini sama dengan yang dilakukan Irwan (23)
sejak masih nyantri, ia kerap membeli jenang selepas ziarah.
“Saya selalu menyempatkan mencicipi jenang ini
tiap berziarah di makam mbah Mutamakkin, setidaknya membeli satu kilogram untuk
dimakan bersama kawan-kawan maupun oleh-oleh keluarga,” terang peziarah asal
Cluwak-Pati ini.
Ada hal konyol yang sering Ia lakukan bersama
kawan-kawannya sewaktu masih nyantri, yaitu mencicipi semua varian rasa
sampai puas dulu, baru setelah itu memutuskan untuk membeli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar